Kamis, 27 Juni 2013

Secercah Senyum di Balik Air Mata

Hari-hariku terasa sunyi, hanya mama yang selalu setia menemaniku. Sejak kejadian itu, aku dan mama harus hidup tanpa kehadiran seorang papa. Sosok yang aku kagumi, yang selalu memanjakanku. Selalu memberikan kejutan, berupa kado setiap papa pulang dari luar kota. Aku masih ingat sosok itu, sosok yang begitu aku sayang. Aku rindu kamu, papa. “Alin…sayang” suara mama mengagetkanku. “Iya ma,.. “Sayang kamu makan dulu ya, mama suapin okay.” Mama bergegas mengambil makanan di dapur, tanpa menunggu jawabanku. Mama memang istimewa, selalu memanjakanku.Selalu mengantarku sekolah, dan selalu menemaniku. Tinggal di perbukitan yang jauh dari keramaian, hanya berdua dengan mama, pantas saja hari-hariku terasa sunyi. Kami harus menjalani hari-hari di perbukitan ini selama bertahun-tahun, tidak terasa sudah 5 tahun aku dan mama tinggal di perbukitan Kiliranjo ini. Papa meninggal karena kecelakaan pesawat 10 tahun yang lalu, aku dan mama tidak pernah mengharapkan peristiwa itu. Rumah kami terpaksa dijual, untuk membayar semua tunggakan hutang papa di bank. Aku dan mama terlunta-lunta, hingga akhirnya kami tinggal di rumah teman mama. Mama harus bekerja sebagai pembantu di rumah tante Anggi. Mama melakukan semua ini karena mama tidak mau kami terlunta-lunta di jalanan. Mama selalu menghiburku, selalu tersenyum walau sebenarnya dalam hati mama, mama menangis, hati mama hancur, tetapi mama selalu kuat, yach mama adalah seorang wonder woman. Aku bangga, mempunyai mama. Kami tinggal di rumah tante Anggi selama 1 tahun, mama tidak betah karena Om Bambang suami tante Anggi selalu mengganggu mama. Mama tidak mau jadi perusak rumah tangga orang. Kami merantau, dan tinggal di sebuah pabrik tekstil, mama melamar kerja di sana, dan diterima. Kehidupan kami mulai membaik, hingga akhirnya aku bisa kembali ke bangku sekolah. 4 tahun kami tinggal di kompleks pabrik tekstil, hingga akhirnya aku dan mama tinggal di perbukitan ini. Aku dan mama bahagia tinggal di sini, suasananya aman, damai dan selalu menyejukan jiwa walau terkadang sedih selalu mendera hati kami berdua. “Sayang…kamu kenapa menangis?” “Ma…Alin rindu papa” “ Sayang..papa udah bahagia di surga, kamu ga boleh sedih lagi” “Tapi ma….” Aku menangis terisak-isak, aku ga bisa melepas kesedihan ini. Aku percaya, papa pasti bahagia di sana, tapi rasa rinduku untuk papa ga bisa terobati. Aku rindu, ingin memeluk papa. “Sayang…papa, mama, dan kamu ga pernah menginginkan peristiwa ini menimpa keluarga kita. Kamu ga boleh sedih lagi, janji sama mama ia?” Mama mengecup keningku, dan membenamkan wajahku yang sendu di pelukannya. “Alin sayang mama…..” “Mama juga sayang Alin.” “Sekarang anak mama yang paling cantik ini, harus makan ia, mama suapin” Aku tersenyum, aku bahagia mempunyai mama yang baik. Aku harus bisa membuat mama bangga, tekadku dalam hati. Menjadi penulis terkenal adalah mimpiku sejak kecil, aku selalu berharap bisa mewujudkan mimpiku. Kini aku sudah kelas 1 SMA, masa remaja yang paling indah. Akh..mungkinkah itu?aku tak yakin, ga seindah yang kupikirkan, mana ada yang bisa merubah kesedihan itu menjadi tawa bahagia. “Sayang…mama mau pergi ke pasar. Kamu ikut atau tinggal di rumah?” “Alin ikut ma…Alin bosan di rumah” Letak pasar tradisional memang jauh dari rumah kami. Kami harus menuruni bukit ini selama 2 jam, bayangkan betapa jauhnya jarak yang kami tempuh. Dengan berjalan kaki kami menempuh perjalanan itu. Setelah sampai persimpangan, mobil angkotan baru bisa kami jumpai. Jauh memang, tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk menemani mama. Mobil angkutan yang kami tumpangi sangatlah tidak nyaman, suaranya yang mengerang-erang karena kebanyakan penumpang, bau asap knalpotnya yang menyesakan pernafasan, maklum lah daerah pedalaman. Keadaannya yang begitu memprihatinkan. Aku berdoa dalam hati untuk keselamatan kami semua yang menumpangi mobil angkutan ini. “Alin..kita sudah sampai” Mama membuyarkan lamunanku. Aku turun dari mobil angkutan itu dan mengikuti mama. Mama menggandeng tanganku, seolah tak ingin pisah dariku. Ku lihat sekeliling pasar, tampak beberapa penjual yang asyik menawarkan barang dagangannya. Aku terpukau, baru kali ini aku merasakan kehidupan pasar. Jauh berbeda dengan suasana rumahku. Ramai, hiruk –pikuk keramaiannya sedikit bisa menghibur hatiku yang sedih. Mama bergegas menuju tempat penjual kebutuhan sehari-hari. Dua jam menemani mama di pasar tradisional, akhirnya setelah selesai berbelanja, kami kembali ke rumah. Perjalanan yang sangat melelahkan. “Alin…bantu mama mindahin sayuran ini ke kulkas ia” “Okay ma…”Alin mengangkat tas berisi sayuran itu dan memindahkannya ke dalam kulkas. Tangan Alin terhenti, saat melihat koran pembungkus cabe . Diambilnya kertas koran itu, dan dibacanya. “Lomba menulis cerpen, 50 Juta hadiahnya dan 1 tahun sekolah di pelatihan penulis muda” Aku harus ikut. Teriak Alin. “Ikut apa sayang?”mama Alin menghentikan teriakannya. “Lomba menulis cerpen ma..Alin boleh ikut kan ma?” “Mama pasti bangga kamu ikut lomba itu sayang, mama selalu dukung kamu” “Makasih ma..” Alin begitu bahagia, mama tersayang selalu memberinya support, selalu memotivasi dirinya, mama yang begitu hebat yang selalu memberikan kebahagiaan. Alin begitu bangga memiliki sosok wanita kuat itu. Kini mimpi itu sudah di depan mata, Alin bisa menggapai mimpi itu jika dia berusaha sekuat tenaga memberikan karya terbaiknya untuk bisa menang di kompetisi itu. Menjadi penulis terkenal adalah mimpi terindah yang Alin miliki sejak kecil. Senyum Alin mengembang melihat secarik kertas di hadapannya. “Aku harus bisa gapai mimpi itu.” Tekad Alin dalam hati. “Alin…mama mau pergi ke rumah Bu Hardi , jangan lupa makan” Kata mama Alin sambil mengecup keningnya. “Okay ma,..mama ga lama kan?” “Malam mama pulangnya..besok suami Bu Hardi datang dari Bandung, persiapan untuk acara besok sayang.” “Be careful ma” Seperginya mamanya, Alin langsung masuk kamar. Dia mulai memainkan imajinasinya, diambilnya kertas, dengan gesit tangannya mulai mentorehkan kata-kata indah di atas kertas putih itu. Alin memang jago dalam dunia menulis, hanya saja bakat yang dia miliki tidak pernah tersalurkan selama ini. Semua hasil karya yang dia miliki hanya menumpuk di bawah kolong meja belajarnya. Sesekali Alin menempelnya di mading sekolah, itu pun jarang dia lakukan. Alin selalu kesal, karena tulisan-tulisanya selalu hilang, hilang tanpa ada yang tahu siapa yang mengambilnya. “Aku harus bisa buat mama tersenyum bangga, karena ini kesempatan emas yang aku miliki. Aku ingin menggapai mimpi dan membawa mama keluar dari perbukitan ini”. Tekad Alin dalam hati. Hidup berdua dengan mamanya di perbukitan Kiliranjo, membuat Alin tumbuh menjadi anak yang baik, dewasa, dan selalu bersemangat dalam menggapai cita-citanya. Tidak heran jika mamanya begitu menyayanginya. Hidup memang indah, seberat apa pun masalah yang menimpa kita, kita harus kuat, tabah, dan sabar untuk menghadapinya. Perjuangan hidup yang luar biasa, yang harus kita lalui, walau terkadang kerikil-kerikil kehidupan yang tajam menghantam kita. Jangan goyah, tetapi teruslah berusaha untuk menggapai kebahagiaan dalam hidup kita. “Humm…akhirnya siap juga ne cerpen…hahhaa. Moga aku berhasil,..hemmm”Senyum Alin mengembang. “Astaga…udah jam 7 malam. Jendela pasti belum dikunci…Oh my Gosh.”Alin bergegas mengunci semua jendela rumahnya. Langkahnya terhenti saat matanya memandang foto yang tergantung di dinding. Hatinya kalut, air matanya menetes di pipi. Kerinduan yang mendalam mendera hatinya, rindu seorang anak kepada ayahnya. “Pa,..Alin sekarang sudah besar, Alin udah ga cengeng lagi, papa pasti bahagia lihat Alin sama mama. Papa baek-baek aja kan di surga?Alin rindu papa.”kata Alin sambil terisak-isak. Kerinduan Alin selama bertahun-tahun yang tak pernah terobati, selama ini hanya mama yang membuatnya kuat dan tumbuh seperti teman-teman lainnya. Dalam hidup, kita pasti mengalami hal serupa, ditinggal oleh orang yang kita sayangi. Butuh waktu dan semangat yang tinggi untuk bisa bangkit dari keterpurukan. Sebulan tlah berlalu, siang itu seperti biasa, setelah pulang sekolah Alin selalu duduk di jendela belakang rumahnya, melihat pemandangan indah perbukitan nan hijau, merasakan udara segar yang menyejukan jiwa. Alin selalu menikmati kesendriannya, mama tersayangnya menghabiskan kesehariannya di rumah Bu Hardi, kepala sekolah Alin sekaligus majikan mamanya. Hampir 5 tahun mamanya bekerja di rumah Bu Hardi, semua itu dilakukan mamanya supaya mereka dapat bertahan hidup dan mempunyai kehidupan yang layak seperti orang lain. Tidak sia-sia semua perjuangan mamanya, kini Alin dan mamanya bisa hidup berkecukupan. Alin tersentak kaget saat mendengar ketukan pintu, Alin bergegas menuju ruang tamu. Dibukanya pintu itu dan dia mendapati seorang gadis, sebaya dengannya sedang berdiri di depan pintu itu. Alin kaget, saat tahu siapa gadis itu. “Tiara?? Ko bisa tahu rumahku?” “Kebetulan aku lewat sini, Tiara gitu lho, pasti tahu lah. Kamu nya aja yang ga mau maen-maen.” Tiara menjawab pertanyaan Alin. “Hemm..aku ga tahu daerah sini, takut nyasar hehhe”.Balas Alin. “Ikut aku yuuk Lin,..dijamin ga kan nyesel dech. Kamu ada sepeda kan?” “Ia ada, kemana?” “Ayolah…tempatnya seru ko” “Okay lah, aku kunci pintu and ambil sepeda dulu.” Akhirnya mereka berdua bisa bersepeda bersama, saling beriringan mengelilingi perkampungan itu, dan hingga akhirnya mereka berhenti di sebuah danau yang sangat indah. Suasana danau yang menakjubkan, begitu memukau perhatian Alin. Selama ini dia belum pernah menemukan tempat indah seperti ini. “Woy..bengong aja. Gimana?bagus ga tempatnya?” Tiara mengagetkan lamunan Alin. “Sumpah dech, ne tempat bagus banged,.thanks ya Ra uda ngajakin aku ke sini” “Gitu dounkzz, makanya jangan bersemedi di rumah trus hehhehhe….kidding” Alin tertawa bahagia mendengar perkataan Tiara, memang benar apa yang di bilang Tiara, selama ini dia selalu berdiam diri di rumah. Padahal, banyak hal indah di luar rumah yang bisa dia dapatkan. Kini mata Alin terbuka, dia merasa bahagia bisa menikmati semua keindahan ini. “Oa Lin…papa kamu kemana? Ko tiap hari mama kamu yang antrin ke sekolah?” “Papa, udah bahagia di surga Ra. Udah 10 tahun lebih papa ninggalin aku sama mama”. Jawab Alin sambil meneteskan air mata. “Sorry Lin,..aku ga bermaksud buat kamu sedih.” “Ga papa Ra.. oa selama ini kamu sendirian aja maen sepeda?” “Ia..abis gua ga betah di rumah, cuma Bi Ijah aja yang nemani gua. Mama sama papa sibuk dengan bisnis mereka. 1 minggu sekali mereka ke sini, selebihnya mereka di Jakarta dan di Bandung. Awalnya aku tinggal di Jakarta sama kakak, tapi gua bosan juga di Jakarta, selalu diatur-atur. Makanya itu, gua tinggal di sini. Yach..yang penting have fun aja Lin..” “Oa Lin,..tuw ada teman gua.” “Siapa?” “Itu Rangga sama teman-temannya”. Tiara menunjuk ke seberang jalan, tampak serombongan anak cowok sedang bersepeda menuju ke arah danau itu. “Tenang aja, mereka baik-baik ko”. Tiara menyakinkan Alin. Alin terpukau saat anak-anak cowok itu berhenti di hadapan mereka. Oh My Gosh…ganteng banget dia. Alin sepertinya ga asing melihat wajah cowok itu. “Hi Lin..kenalin ini teman ku” Alin tersentak kaget dan mengulurkan tangannya kepada mereka. “Rangga” “Adit” “Tio” “Sandy” “Alin” jawab Alin sambil tersenyum. “Tumben ne, kalian ga maen bola?” Suara Tiara memecahkan keheningan mereka. “Ga,..kebetulan lagi break. Oa besok nonton kami tanding ya?”Jawab Rangga. “Jadi tanding kalian, Ngga??” “Jadi Ra..nonton ya??sama anak kota besok lawannya. Doain menang ia hehehe…” “Okay de..” “Oa..temen-temen semuanya Alin pulang duluan ia?ne udah sore, ga papa kan Ra?”kata Alin. “Yakin loe Lin, mau pulang duluan??ga bareng ama kita-kita?” “Yakin ko Ra…bye..bye ALL” “Hati-hati Lin, besok nonton ya?” kata Rangga. “Makasih”. Jawab Alin sambil tersenyum. Alin menuruni bukit itu dengan hati-hati. Perjalanan yang menyenangkan, Alin mengayuh sepedanya dengan semangat, matanya asyik melihat-lihat pemandangan sekitar. Tanpa peduli di depan ada batu. Hingga akhirnya sepedanya oleng karena menabrak batu yang cukup besar itu. Alin terjatuh, dan sepedanya menimpa tubuhnya. Alin merasakan benturan cukup keras di kepalanya. Alin tidak kuat menahan rasa sakit itu, hingga akhirnya dia jatuh pingsan. “Alin….” Teriak Rangga, yang saat itu melihat Alin tak sadarkan diri. Diangkatnya sepeda itu dari tubuh Alin. Rangga panik, diguncang-guncangkannya tubuh Alin, tapi Alin tetap tidak sadarkan diri juga. Rangga bermaksud memberi nafas buatan, tetapi saat dia mendekati bibir Alin, tiba-tiba Alin terbangun. “Aaaa…….”teriak Alin. “Maaf Lin…tadi aku mau ..” “Kurang ajar banget kamu jadi cowok ya”. Potong Alin. Dia segera berdiri dan bergegas meninggalkan Rangga. “Tapi Lin..itu ga seperti yang kamu kira, dengerin penjelasanku dulu.” “Semua cowok busyet dech..aku ga akan percaya sama kamu.” Kata Alin sambil berlalu meninggalkan Rangga. Satu minggu telah berlalu, sejak kejadian itu Alin tidak pernah bertemu dengan Rangga. Alin merasa bersalah, karena tidak mau mendengar penjelasan Rangga. Setiap hari Alin selalu termenung, memikirkan Rangga. Sindrom jatuh cinta mulai merasuki hatinya. Tanpa kita duga, cinta bisa menghampiri siapa saja, termasuk kepada Alin. Cewek cuex yang selalu mengabiskn waktunya sendirian. “Sayang…ko melamun aj?’ Mama Alin membuyarkan lamunan Alin. “Mama ko udah pulang?” “Mama ada perlu sayang, nanti mama ke rumah Bu Hardi lagi. Oh ya itu ada Rangga anaknya Bu Hardi, ajak ngobrol ia. Mama mau mandi” “Rangga, Ma???” “Iya sayang, buruan ge..” Alin bergegas menuju teras depan, dengan langkah gontai dia menghampiri Rangga. Alin merasa shock saat melihat Rangga. Wajahnya memerah, melihat Rangga duduk di kursi teras rumahnya, ternyata Rangga adalah anak majikan mamanya. Rangga menatap Alin, Alin tersipu malu, tetapi segera dia tepas rasa malunya itu dan kembali ke sifat aslinya cuex. “Kamu???” Alin memulai pembicaraan. “Maaf Lin, atas kejadian kemaren. Itu ga seperti yang kamu kira ko.” “Lupain aja, aku harusnya yang minta maaf sama kamu.” “Thanks Lin,..jarang-jarang ada cewek baik kaya kamu..heee” Ali tersipu malu mendengar pujian dari Rangga. Sejak saat itu, Alin dan Rangga saling dekat. Mereka selalu menghabiskan waktu berdua, selalu kompak seperti sepasang kekasih layaknya. Walaupun tidak terjalin suatu hubungan cinta diantara mereka. Hal ini membawa perubahan besar dalam diri Alin, Alin yang dulunya pendiam kini telah menjadi seorang gadis yang periang. Rangga selalu member support kepada Alin, bahkan Rangga rela menemani Alin ke kantor pos untuk mengirimkan naskah cerpennya. Walaupun harus menempuh perjalanan jauh yang melelahkan, hal ini tidak membuat semangat Rangga padam untuk membantu Alin. Munginkah ada cinta di hati Rangga untuk Alin?? Hanya waktu yang akan menjawab semua itu. Tetapi yang jelas mereka berdua selalu bersama setiap saat. Sebulan telah berlalu, suatu hari di jam istirahat Rangga datang menemui Alin ke sekolahnya. Sebelum kenal dengan Alin Rangga juga sering datang ke sekolah itu, untuk menemui mamanya, yang juga kepala sekolah di sekolah Alin. Mereka berdua asyik ngobrol, dan tidak menyadari kehadiran Bu Hardi yang berdiri di belakang mereka. “Alin…bisa ikut Ibu ke kantor?” “Baik Bu..” Jawab Alin dengan shock, beribu pertanyaan menghiasi pikiran Alin, dia merasa ketakutan, jika Bu Hardi marah karena mengetahui kedekatan Alin dengan Rangga. Siang itu, sepulang sekolah Alin langsung bergegas pulang. Hatinya berbunga-bunga, ingin rasanya cepat-cepat memberi kabar bahagia itu kepada mama tercintanya. Hati Alin berdebar-debar dari tadi pagi. Mungkin ini kejutan terindah yang Alin terima. Alin menang kompetisi cerpen itu, dan dia berhasil mendapatkan uang 50 juta, juga sekolah untuk pelatihan penulis muda di Jakarta. “Mama pasti bangga mendengar berita ini.” Bisik Alin dalam hati. Alin merasa shock saat sampai di halaman rumahnya, para tetangga Alin sudah berkumpul di rumahnya, mereka berduyun-duyun mendatangi rumahnya. Ribuan pertanyaan menghiasi pikirannya. Apa yang terjadi di dalam rumahnya itu, tanpa pikir panjang lagi Alin segera mempercepat langkahnya untuk mencari tahu rasa penasarannya itu. Air mata Alin menetes di pipinya, hatinya hancur. Semua itu seperti mimpi, yang Alin sendiri tidak kuat menghadapinya sendirian. Satu detik, dua detik Alin memandang tubuh itu. Hingga akhirnya tangisnya pecah, meriuhkan suasana duka itu. Sosok wanita tegar dan kuat itu, yang selalu menjadi kebanggaan Alin, kini telah terbujur kaku dan tak berdaya. Tubuhnya pucat dan tak bernyawa lagi. Mama tercinta yang begitu dia sayangi, telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Alin masih tidak percaya dengan semua rentetan upacara pemakaman siang itu. Alin belum bisa menerima kenyataan pahit itu. “Ma,..Alin sayang sama mama. Mimpi Alin udah jadi kenyataan, mama sama papa pasti bangga lihat Alin, moga mama sama papa bahagia di surga” Bisik Alin dalam hati. Pagi itu, Alin berangkat ke Jakarta. Semua teman-temannya ikut melepas kepergiaannya. Hati Alin rapuh, tetapi dia berusaha tegar dan terus tersenyum di hadapan semua teman-temannya, terlebih ada sosok Rangga yang membuatnya selalu semangat. Beban berat yang harus Alin tanggung, memang tak semudah yang kita kira. Tetapi Alin mampu melewati semua itu. Walaupun air mata terus mengalir, tapi dia percaya ada senyum di balik semua air mata itu.

0 komentar:

Posting Komentar